Beranda | Artikel
Hukum Itikaf dan Dalil-dalilnya
Selasa, 26 April 2022

MUQADDIMAH

ŒPengertian I’tikaf

  1. I’tikaf dari segi bahasa bermakna menetap pada sesuatu atau menghabiskan waktu untuk sesuatu atau dengan bahasa sekarang disebut at-tafarrugh lahu (mencurahkan waktu untuknya).

Tashrifnya dari يَعْكِفُ عَكَفَ (huruf kaf boleh didhammahkan dan boleh juga dikasrahkan), مُعْتَكِفٌاِعْتِكَافٌ عَاكِفٌ

  1. I’tikaf menurut syari’at bermakna: menetapnya seorang muslim yang berakal dan baligh di dalam satu masjid dengan niat i’tikaf untuk waktu tertentu, sebagaimana akan datang rinciannya, insya Allah.

Dalam beberapa ayat al-Qur-an al-Karim tercantum kata i’tikaf yang menunjukkan satu arti, yaitu menetap pada sesuatu atau menghabiskan waktu untuknya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاَتَوْا عَلٰى قَوْمٍ يَّعْكُفُوْنَ عَلٰٓى اَصْنَامٍ لَّهُمْ

“…Maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka…”  [Al-A’raaf/7: 138]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang ucapan Nabi Musa Alaihissallam kepada Samiri:

وَانْظُرْ اِلٰٓى اِلٰهِكَ الَّذِيْ ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا

“…Lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya…  [Thaahaa/20: 97]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang ucapan Ibrahim Alaihissallam:

اِذْ قَالَ لِاَبِيْهِ وَقَوْمِهٖ مَا هٰذِهِ التَّمَاثِيْلُ الَّتِيْٓ اَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُوْنَ

“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya?’” [Al-Anbiyaa’/21: 52]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang ucapan Bani Israil:

قَالُوْا لَنْ نَّبْرَحَ عَلَيْهِ عٰكِفِيْنَ حَتّٰى يَرْجِعَ اِلَيْنَا مُوْسٰى 

“Mereka menjawab, ‘Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami.’” [Thaahaa/20: 91]

Adapun yang tercantum dalam al-Qur-an al-Karim dengan lafazh i’tikaf dengan makna syar’i yakni menetap di dalam masjid, sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Ibrahim dan Ismail Alaihissallam:

اَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ

“…Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud… [Al-Baqarah/2: 125]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum mukminin tentang adab dan syarat-syarat i’tikaf:

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ

“…Janganlah kamu campuri mereka itu (isteri-isterimu), sedang kamu beri’tikaf dalam masjid…”  [Al-Baqarah/2: 187]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Masjidil Haram:

وَالْمَسْجِدِالْحَرَامِ الَّذِيْ جَعَلْنٰهُ لِلنَّاسِ سَوَاۤءً ۨالْعَاكِفُ فِيْهِ وَالْبَادِ

“…Masjidil Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir…” [Al-Hajj/22: 25]

Dikatakan bahwa maksud dari Masjidil Haram adalah kota Makkah dan maksud dari ‘Aakif adalah orang-orang yang bertempat tinggal di kota Makkah. Adapun maksud al-baad yaitu orang-orang yang datang dari negeri-negeri lain, kemudian kembali ke negerinya, wallaahu ‘alam.

Bab I
HUKUM I’TIKAF DAN DALIL-DALILNYA

I’tikaf adalah Sunnah yang disyari’atkan berdasarkan beberapa jenis dalil:

  1. Berdasarkan al-Qur-an al-Karim, sebagaimana yang telah kami sebutkan.
  2. Perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang akan disebutkan dalam beberapa hadits, insya Allah.
  3. Perbuatan isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan sebagian dari Sahabat beliau Radhiyallahu anhum.
  4. Umat yang terdahulu hingga sekarang tetap mengikuti petunjuk beliau tersebut.

Pembahasan Pertama
Pembagian I’tikaf dan Keutamaannya

I.    Pembagian I’tikaf

Sebagian ulama membagi hukum i’tikaf menjadi tiga bagian:

  1. Wajib, seperti i’tikaf karena bernadzar.
  2. Sunnah muakkad, yakni i’tikaf pada bulan Ramadhan khususnya pada sepuluh hari ter-akhir.
  3. Sunnah yang boleh dilakukan, yakni i’tikaf yang dilakukan pada hari-hari lain.

II.   Keutamaan I’tikaf
Mengenai keutamaan i’tikaf tidak terdapat hadits yang dapat naik kepada derajat shahih. Hanya saja hukumnya jelas dan sudah disepakati oleh para ulama bahwa hukumnya adalah Sunnah yang selalu dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. Hanya saja tercantum dalam hadits bahwa beliau pernah i’tikaf pada bulan Syawwal sebagaimana yang akan disebutkan.

Adapun hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang fadhilah i’tikaf memiliki sanad yang dha’if dan yang termasyhur adalah dua hadits sebagai berikut:

  1. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْمُعْتَكِفُ يَعْكِفُ الذُّنُوبَ وَيُجْرَى لَـهُ مِـنَ الْحَسَنَاتِ كَعَامِلِ الْحَسَنَاتِ كُلِّهَا.

Orang yang beri’tikaf terhenti dari perbuatan dosa dan pahalanya terus mengalir seperti pahala orang yang mengamalkan seluruh kebaikan.”[1]

  1. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari al-Husain bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

مَنِ اعْتَكَفَ عَشَرًا فِي رَمَضَانَ كَانَ كَحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْنِ.

Barangsiapa beri’tikaf pada sepuluh hari bulan Ramadhan berarti sama seperti melaksanakan haji dan ‘umrah sebanyak dua kali.”[2]

Tidak boleh berhujjah dengan kedua hadits ini karena keduanya bukan hadits shahih.

[Disalin dari kitab Ad-Du’aa’ wal I’tikaaf, Penulis Syaikh Samir bin Jamil bin Ahmad ar-Radhi, Judul dalam bahasa Indonesia I’tikaf Menurut Sunnah yang Shahih, Penerjemah Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit  Pustaka Ibnu Katsir]
______
Footnote
[1]  HR. Ibnu Majah (I/567, no. 1781). Syaikh Muhammad ‘Ab-dul Baqi berkata, “Sanadnya dha’if.”
[2]  Al-Muttajir Raabih, hal. 271, hadits no. 67.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/55026-hukum-itikaf-dan-dalil-dalilnya.html